

 |
.: Persemaian Hati :.
Sore yang mendung. "Hmm mungkin tidak lama lagi hujan akan
turun." Baru saja selesai aku bergumam, kudengar guntur menggelegar,
petir menyambar, langit menjadi kelam dan tak lama kemudian, turunlah hujan
deras, disertai angin yang sangat kencang. Dari balik jendela kamarku,
kulihat pohon-pohon sedang meliuk-liuk dan tak lama kemudian beberapa
diantaranya roboh. "Ya Robb, apa yang terjadi. Apakah sekarang
saatnya?. Apakah ini hari yang Engkau janjikan, dimana semua makhluk hidup
seperti anai-anai yang berterbangan. Ya Robb, aku belum siap, aku belum
siap." Tiba-tiba aku bersujud, berusaha berkonsentrasi untuk berdoa.
"Oh apa yang terjadi padaku? Aku berdoa? Allah benarkah?" Tak
terasa air mataku mengalir.
...
Pagi yang cerah. "Wah, ujian kali ini harus sukses besar."
Kulihat teman-temanku asyik menekuni catatannya masing-masing. Wajah-wajah
tegang ada nampak terlihat dengan jelas. "Padahal ini kan hanya ujian
ISD (Ilmu Sosial Dasar), buat apa sih sampai tegang begitu," pikirku.
Akhirnya kelar juga ujian ini. Tak begitu sulit. Aku tinggal menuliskan
pendapat-pendapatku. Mata kuliah ini begitu aku sukai, karena membuat
pikiran kita berkembang dan tanpa aku sadari, menggerogoti sedikit demi
sedikit rasa keimananku.
Bermula dari pernyataan dosenku yang mengatakan bahwa dia tidak beragama.
Aku sempat kaget dan waktu itu kuyakinkan diriku untuk tidak terlalu
memikirkan apa-apa yang akan disampaikan oleh dosenku itu, karena aku takut
terpengaruh. Tapi karena kecintaanku pada filsafat membuatku senang
mendengarkan penjelasaannya yang terasa begitu masuk akal dan rasional.
Minggu-minggu perkuliahan mengalir, seiring mengalirnya pemahaman-pemahaman
dari dosenku tentang kehidupan beragama. Karena sehari-hari aku berkutat
dengan rumus-rumus, maka aku jadi sangat menyukai mata kuliah yang satu ini,
karena tidak berdasarkan rumus-rumus fisika yang rumit.
Rasa ingin tahuku yang besar kenapa dia tidak beragama membuatku ingin
beranjangsana dengannya. Dan kesempatan itu datang, ketika aku sedang makan
di kantin. Dari jauh kulihat Pak Diro, dosen ISD-ku datang. Segera aku
berjalan ke arahnya.
"Mau makan, Pak Diro? Di sini aja, Pak, duduk sama saya."
"Oh ya, makasih, saya pesan makanan dulu, ya."
Dan percakapan itu berlangsung. Dari sini kudapat banyak hal, termasuk
kenapa sih kita harus beragama, yang membuat gerak kita jadi terbatas, ada
perang, dan segala macam. Manusia diciptakan dengan kebebasan, kenapa kita
harus memasungnya dengan ikatan-ikatan agama. Agama membuat kita
terkotak-kotak. Kita tidak bebas mengapresiasikan diri kita. Apa itu membuat
kita bahagia?
Oh, jadi rupanya ia masih mempercayai adanya Tuhan. Hanya tak mau terikat.
Pembicaraannku dengan Pak Diro, selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku
selalu memikirkannya, selalu berusaha menyatukannya dengan pikiranku. Sampai
pada suatu malam, kepalaku menjadi sangat pusing. Karena sepertinya ada
pergolakan batin dalam diriku. Pergolakan yang menyiksaku. "Tuhan, aku
ingin mendapatkan kebenaran," batinku.
Sudah beberapa hari ini aku meninggalkan sholat, yang kata Pak Diro,
"Buat apa kamu sholat, orang bilang sholat mencegah kejahatan, apa
benar? Banyak lho orang-orang yang sholat tapi maling, bicara kotor, jarang
berbuat baik. Buat apa ngaji, kalo nggak tahu artinya. Seperti orang bodoh
saja, membaca tapi tidak mengerti isinya." Aku mulai mengiyakan
ucapan-ucapan Pak Diro ini. Tapi, ternyata batinku tidak merasakan
ketenangan. Pikiranku kacau, kepala mulai pening dan berputar-putar, sampai
akhirnya aku demam.
Kakakku yang merawatku selama aku sakit, karena orang tuaku sedang keluar
kota. Dan pada suatu malam ketika demamku sudah turun.
"Kamu kenapa sih, Ri, apa yang terjadi padamu."
"Emangnya kenapa, Kak? Aku cuma demam biasa, kok. Sekarang udah agak
mendingan."
"Bukan demammu itu, tapi igauanmu itu."
Aku mengigau?
"Ya, waktu itu kamu bilang, buat apa sholat, buat apa ngaji dan masih
banyak kata-kata yang nggak jelas. Kamu kenapa, kamu nggak sholat, ya. Kamu
nggak mau lagi ngaji?" berondong kakakku.
"Buat apa, Kak, sholat, ngaji," dan kujelaskan panjang lebar pada
kakakku mengenai ucapan dosenku itu.
"Astaghfirullah, kamu sudah gila, Ri. Kamu sadar apa nggak, kamu
terkena ghowzul fikri. Pikiranmu sudah diracuni. Besok kamu ikut
kakak, ketemu Ridwan, teman kakak, logika-logikamu biar dia yang
jelaskan," kakakku sangat marah.
...
Keesokan harinya, Ridwan teman kakakku datang ke rumah, menanyakan
keadaanku dan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Ini adalah ujian bagimu Ari, ketika rasa keimanan di dadamu sudah
bersemai, maka di sini Allah mengujimu apakah kamu mampu memupuknya,
menyiramnya, membersihkan hamanya sampai nanti kamu memanen hasilnya. Dan
sekarang kamu diuji untuk mampu membunuh hama-hamanya, yang jika kau
biarkan, akan menggerogoti habis tanaman keimananmu. Ingatlah, ujian itu
tidak hanya ketika kamu gagal menghadapi ujian negara, mid test dan
sebagainya. Itu hanya ujian kegagalan, sedangkan masalah kamu, sekarang
lebih besar dari pada itu, karena jika kamu tidak mampu menghadapinya,
hilanglah hakekat hidupmu di dunia ini. Kamu pintar tapi tidak tahu untuk
apa kepintaranmu. Sholat, untuk apa kita sholat, kenapa perbuatan jahat,
tetap kita lakukan meskipun kita sholat. Seseorang tidak bisa jadi langsung
baik, ketika melakukan suatu ibadah, tapi semua itu butuh proses, karena
tidak ada manusia yang instant, bersabarlah, kamu akan mendapatkan kebaikan
itu. Orang-orang yang seperti Pak Diro itu, karena mereka tidak bersabar
mendapat rahmat Allah. Sabar...sabarlah Ari. Begitu pula dengan ngaji. Kalo
kita tidak mau mempelajari Bahasa Arab, bagaimana kita mau memahami. Jadi
jangan salahkan ngaji, sholatnya. Pikirkanlah." Dan masih banyak
penjelasan-penjelasan Kak Ridwan yang menjadi obat kegamanganku selama ini.
...
Beberapa hari ini kucoba kembali menemukan makna ibadah, meskipun berat,
aku coba jalani, hingga pada suatu sore yang mendung dan hujan lebat pun
turun dan tak terasa, mengalirlah air mataku. Allah tidak membuat sesuatu
tanpa tujuan. Bersabarlah menuainya. Terngiang kembali kata-kata Kak Ridwan.
Terima kasih Ya Allah. Terima kasih Kak Ridwan.
(S. H.)
.:. |
 |
|